Duta Besar Khusus PBB untuk MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) di Asia Pasifik (2003-2007) ini menekankan bahwa kemitraan yang dibicarakan dan menjadi konsep dalam SDGs ini berbeda dengan kemitraan dalam MDGs. Menurutnya dalam MDGs itu hubungannya antara negara donor dengan negara mitra, sementara semangat kemitraan dalam SDGs ini adalah kesetaraan.
“Sekarang mungkin belum begitu terlihat, namun ke depan akan makin banyak aspirasi dari Papua mewarnai pelaksanaan SDGs dengan banyaknya kemitraan yang dijalankan dengan baik di sini. Kalau kemitraan baru satu pihak yang merasakan keuntungan, maka kemitraan tersebut perlu diperbaiki,” tutur mantan Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah ini.
Erna juga menggarisbawahi mengenai pentingnya pemilihan sektor prioritas dalam menjalankan SDGs. Menurutnya dari 17 target SDGs, kita harus memilih prioritas. Pencapaian target SDGs tidak akan berjalan dengan baik kalau perusahaan mengambil terlalu banyak prioritas akan memudahkan membangun kemitraan dalam SDGs.
“Contohnya Institut Pertambangan Nemangkawi yang dibangun oleh Freeport itu bisa dikembangkan dalam kemitraannya. Kampus-kampus lain bisa datang ke sana untuk berkerjasama. Karena IPN ini fokusnya menyediakan tenaga kerja yang memiliki skill tinggi yang tidak semuanya harus masuk ke Freeport dan itu bisa menjadi fokus prioritas bersama di Papua karena semuanya mendapatkan keuntungan dengan keberadaan IPN ini,” terang Erna.
Direktur WWF Indonesia Wilayah Papua, Benja Mambai menyetujui pendekatan kemitraan yang penting dilakukan dalam pembangunan di Papua.
Orang kalau ingat WWF itu ingatnya hanya mengenai WWF yang kerjanya melarang-larang saja. Kami sudah keluar dari ranah itu. Salah satu misi WWF adalah membangun masyarakat madani yang dalam pengalaman kami hanya bisa dibangun dengan cara kemitraan. Kami punya keyakinan bahwa tidak mungkin kita melestarikan alam namun tetap melestarikan kemiskinan,” terang Benja.
Benja menjelaskan bahwa WWF sudah 35 tahun bekerja di Papua. Menurutnya WWF dulu bekerja sendiri dan hanya berkerjasama dengan Uncen. Saat ini di Papua sampai ada 10 kantor dan membangun kerjasama dengan semua pihak.
“Kami menggunakan pendekatan yang melibatkan semua mitra termasuk masyarakat. WWF menggunakan community participatory mapping dengan tujuan masyarakat Papua mengenali jatidirinya dan bisa bernegosiasi dengan pihak lain,” ungkapnya.
“Contohnya ketika pemerintah daerah membuat RT RW (spatial planning), masyarakat ikut berpartisipasi. DI peta ada titik titik yang menunjukkan area penting masyarakat. Harus diingat, tidak ada sejengkal pun tanah di Papua itu yang kosong. Semua tanah itu sudah ada peruntukannya masing-masing, ada yang untuk ambil sagu, tempat berburu dan lain lain,” terang Benja.
Menurutnya, pelibatan tersebut akan meningkatkan rasa kepemilikan. Karena selama ini ada fenomena ketika orang dari luar beraktivitas maka masyarakat Papua merasa aktivitas yang dilakukan sebagai kebutuhan orang luar sehingga tidak perlu terlibat. Menurutnya hal Ini yang perlu diubah bukan hanya dari masyarakat, namun dari sisi yang datang untuk melibatkan rakyat Papua.
Silverius Oscar Unggul dari lembaga Nirudaya yang aktif melakukan pendampingan di Papua menekankan bahwa langkah konkret untuk mendorong kesejahteraan rakyat Papua mutlak diperlukan.
Dia menjelaskan, lembaganya yang Nirudaya membuat berbagai macam kegiatan dan juga alat untuk mendukung pemderdayaan masyarakat Papua yang ingin melestarikan alam dan budayanya sekaligus menguatkan ekonominya.
“Kami pernah membantu agar kayu Papua yang ditanam secara berkelanjutan mendapatkan sertifikasi dan diekspor agar membawa perubahan ekonomi bagi rakyat Papua. Namun ketika ternyata ada masalah dalam ekspor, kami mencarikan solusi dan kayu-kayu tersebut dipakai untuk membangun guest house di Raja Ampat. Saat ini penduduk asli di Raja Ampat sudah punya bisnis pariwisata dengan kayu asli Papua yang ditanam secara berkelanjutan,” terang Silverius yang akrab disapa Onte ini.
Menurut Onte, kemitraan yang mempertimbangkan sisi kesejahteraan sangat penting.
“Kalau hanya memetakan masalah terus namun minim langkah konkret, nanti saya ditanya oleh masyarakat: Bapak Onte, ini nanti petanya mau kita makankah?” ujar Onte sembari tertawa.
Senior Manajer Institut Pertambangan Nemangkawi (IPN), Soleman Faluk yang menjadi salah satu pembicara menjelaskan usaha IPN dan Freeport untuk bermitra dengan masyarakat dalam menyiapkan tenaga terampil di sektor pertambangan serta minyak dan gas bumi.
Diakui, kalau pihaknya berjalan sendiri tak akan berjalan maksimal bagi peningkatan SDM. Padahal potensi industri tambang serta migas sangat terbuka untuk anak-anak muda Papua.
“Kami menjalankan fungsi link and match. Kalau kami didik tapi menganggur tentu menjadi masalah. Di sini kami menyambungkan dengan mitra di lembaga pendidikan formal serta perusahaan-perusahaan yang ada,” lanjutnya.
“Kami mencari tahu apa ekspektasi user mengenai profil tenaga kerja yang mereka butuhkan. Umumnya ingin orang Papua yang bagus dan disiplin serta memiliki skill yang bagus. Kami tidak hanya mendidik skill, tapi juga melakukan penddikan karakter,” terang Soleman.
Soleman menjelaskan IPN adalah lembaga non formal pendidikan yang didirikan tahun 2003 sebagai program corporate social responsibility (CSR) PT Freeport Indonesia dalam bidang pengembangan SDM Papua. IPN memiliki 16 program atau jurusan dan disertai program pengembangan berbasis kompetensi. Hingga tahun 2018 total peserta yang diterima dan dikembangkan di IPN sebanyak 4000 siswa.
Mantan Menteri Lingkungan Hidup yang juga Mantan Rektor Universitas Cenderawasih Balthasar Kambuaya menyampaikan bahwa dalam kemitraan harus memiliki tujuan yang sama.
“Kita harus punya ultimate goals, baru kita lihat potensi yang dimiliki. Nanti akan bisa menilai apakah saya bisa bekerja sendiri atau tidak. Tujuan yang jelas dan berbagi pemahaman yang sama itu penting, agar tidak seperti yang biasa terjadi buat MOU banyak-banyak tapi dokumen kita tinggal,” terang Balthasa.
“Pembangunan Papua yang berkelanjutan tak mungkin dikerjakan oleh satu orang. Namun dalam membangun kemitraan itu harus didasarkan pada rasa saling percaya dan semangat untuk saling menguntungkan. Saya beri contoh di Uncen ini ada ada Freeport Corner. Itu adalah kerjasama yang kami lakukan dengan Freeport atas dasar kemitraan yang memiliki satu tujuan bersama dan mengedepankan kepentingan bersama,” terang Balthasar.
Health Specialist Papua Zone Wahana Visi Indonesia, Michael Bantung memaparkan, pegalaman organisasinya dalam bermitra dengan masyarakat Papua untuk meningkatkan level kesehatan.
“Kami tahu bahwa tenaga kesehatan maupun fasilitas kesehatan terbatas. Kami pun membuat program untuk melatih masyarakat agar memiliki kemampuan dasar untuk menangani balita yang sakit. Dengan semangat kemitraan kami bekerjasama dengan Dinas Kesehatan dan kementerian Kesehatan yang akhirnya program kami ini dilindungi payung hukum. Masyarakat yang dilatih bisa memberikan obat ringan untuk batuk, mencret, demam sebagai pertolongan pertama. Setidaknya langkah ini bisa membantu memberikan pertolongan pertama sebelum bisa ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan,” terang Michael
Berita ditayangkan di: Lintaspapua.com <klik di sini>